Minggu pertama
pagi ini aku kembali melepaskan tawaku setelah tidak ada lagi lumut yang
menempel pada dinding-dinding lantai putih tubuhku. Tubuhku seakan sejuk oleh
air jernih yang mengisi setiap sudut yang ada pada diri ini. Hatiku bernafas lega,
bernyanyi-nyanyi, bersiul, seakan belum cukup untuk menggambarkan kegembiraanku
disetiap minggu pertama.
Tekadang tubuh
ini takut, ditengah – tengah kegembiraan yang kurasa, terselip ingatan pahit
yang mesti akan melandaku di minggu teakhir. Aku tak tahu mesti berbuat apa
dikala ini datang, Hanya lemas yang aku terima dan sepi tiada kata. Lumut busuk
menghiasi sudut-sudut tubuhku, keruh air yang sangat menusuk membuat sesak tak
berdaya, licin dan licin yang terasa.
Akulah
dewi, saat ini aku 16 tahun sejak aku dibangun. Tidak ada satupun orang yang
tahu akan nama ini dan jarang sekali orang yang menghiraukan diri ini. Aku
tahu, ku memang tak pantas mempunyai teman, aku sadar dengan keadaanku, Aku
hanyalah benda yang hanya diam, tidak pernah pergi apalagi beranjak dari spot yang memang tertanam untuk diriku
dan memaksaku untuk diam membisu. Bentukku memang…. Hanyalah sebuah kubus yang
mempunyai lubang persegi dan terisi oleh air yang sering disebut tampungan air
mandi orang, tapi aku memiliki hati yang terkandung perasaan, cinta, amarah,
dan ingatan akan pengalaman sejak aku terbentuk di sini, Dan aku bisa melihat
seperti yang lain.
Aku
membisu di asrama pelajar sekolah, tempat yang penuh akan manusia-manusia hidup
dan bisa dikatakan berakal. Tempat tepatku berada di lantai paling bawah gedung
laki-laki dari empat lantai yang ada, bagian belakang pojok kanan yang sempit,
dimana terdapat satu lampu neon yang
menerangiku dan menemaniku saat gelap menghampiri. Di tengah tubuh yang terisi
air, ada gayung berwarna biru yang selalu mengapung diatas permukaan airku. Walaupun
dia hanya diam, aku tetap senang akan keberadaannya. Tiga puluh centi diatasku ada kran tua yang setiap
pagi dan malam mengisi ku dengan air bersih. Tak pernah telat adalah sanjungan
yang pas yang pasti aku berikan kepadanya, Dia tidak pernah telat memberiku
pasokan, dan dialah yang membuatku mempunyai makna dan fungsi.
~****~
Hari
ini kran tua baru saja selesai mengisi penuh tubuhku, seraya melayang oleh
jernihnya air yang mengisiku. Puas aku rasa jika keadaan bersih, tapi jarang
sekali hal ini aku rasakan. Hampir setiap harinya aku melihat seluruh bocah
laki-laki yang ada dalam asrama ini, hanya kebencian yang sering aku rasa
ketika pertanggung jawaban seakan tak pernah digubris sedikit pun oleh
mereka-mereka yang goblok boleh aku
bilang. “Apakah ini yang disebut anak asrama, apakah ini yang disebut anak
berpendidikan?” muak setiap hari yang aku rasa, kebersihan jarang sekali
terjadi, hanyalah Pak OB yang mungkin peduli akan keberadaan ku dan Raud si
bocah itu.
Cpak…Cpak…Cpak.. “sepertinya aku tidak
asing dengan langkah kaki ini”. Perasaanku berkata mungkin itu si Raud,
“mungkin dia mau mandi atau sekedar melihat keadaanku”. Entah kenapa dadaku
terbuka selapang-lapangnya jika dia menghampiriku. Jika dia disini aku sering
teringat pertama kalinya dia membersihkanku, setahun yang lalu tepatnya, dimana
aku sudah penat akan keruhnya air dan tempelan lumut, dan dialah yang rela
tanpa bantuan siapapun membuatku terbebas tempelan samsara ini.
“Ngieggk..”.
Ternyata benar si Raud dengan membawa sebungkus deterjen dan ember hijau kecil yang kulihat berisi beberapa pakaian
dan seragam sekolahnya, dengan memakai baju salah satu club sepak bola ternama
di negara barat. Dia membuka pintu kamar mandi ini yang tadinya hampir tertutup
dan masuklah di hadapan ku. Mungkin Jika aku bisa didengarnya aku akan
menyapanya dan mengucapkan terima kasih atas perhatianmu selama ini.
“alhmdulillah airnya bersih, dan tak ada lumut yang menempel.” Kata Raud. Baru
kali ini dia mengatakan itu, dan sepatah kalimat yang baru saja diucap olenya
membuatku berdebar dan tersanjung luar biasa, itu seperti kalimat pujian yang
tulus dari gua hati yang paling dalam.
Kulihat
kali ini dia hanya akan mencuci pakaiannya saja. Dia mengambil gayung yang
terapung diatas air tampunganku. Dia menggayung airnya dan dia menyiramkannya
kepada beberapa pakainnya. Tiba-tiba dia
berkata, “aduh handuk dan sabunku ketinggalan di atas!”. Rupanya dia lupa
membawa handuknya, “mungkin dia akan mandi juga, kulihat dia akan mengambil
handuk dan sabunnya.” Kataku. Si Raud berlari keluar dengan langkah kaki yang
terdengar mencipratkan air pada ubin depan kamar mandi yang basah.
~****~
Raud,
adalah anak yang berhati cahaya, dia baik dan terlihat melakukan apapun dengan
ikhlas, terbukti dengan perbuatannya yang ditujukan kepadaku saat dia tidak
pernah iri membersihkan tubuhku. Padahal kamar mandi ini milik umum dan yang
menggunakannya hampir seluruh anak disini. Tapi dia yang lebih memperhatikanku
dan aku sering menyandang dia sebagai perawat hati ini. Ketika dia datang dan
melihat keadaan ku yang kotor, dia langsung membuka penutup air yang ada pada
depan bagian tubuhku yang kotak dan menguras seluruh air yang ku tampung. Dia
mengambil sikat kamar mandi, dan pembesih yang ada pada ember merah depan pintu
kamar mandi, yang biasanya digunakan pak OB untuk membersihkan aku juga dengan asrama
ini.
Jika
dia sudah bertindak seperti ini, dia pasti akan membersihkan ku dari segala
kekotoran yang ada, tentunya berbagai kotoran ini timbul dari penghuni asrama
yang tidak tau malu. Dia akan mengelupas seluruh lumut yang ada pada dinding
tubuhku termasuk sudut-sudut tubuh ini dengan sikat yang dipegannya dengan
tangan kanan dan pembersih pada tangan kirinya. Bahkan pernah setengah hari
penuh dia merelakan harinya demi kebersihan ku.
Sering
kali dia berperilaku sabar, aku pernah melihatnya mengambil bungkus kresek yang
terletak pada dinding badanku dan dia membuangnya, padahal bungus itu dari anak
lain semenit sebelum si Raud masuk di kamar mandi ini. Dan yang paling parah
aku pernah melihat dia diolok temannya babu
asrama karena perbuatannya membersihkanku. Itulah yang cukup membuatku
tertegun atas sifat hatinya yang bercahaya integritas tinggi.
Kadang
aku membandingkan dia dengan anak laki-laki lain asrama ini berdasarkan fisik
nya, jika berdasarkan sifatnya sudah tentu dia yang terbaik dan luar biasa
pastinya. Dari fisiknya dia tak begitu tinggi dan dan tak juga dibilang pendek,
dia tak gemuk tapi bisa dikatakan tembem,
Rambutnya memang kelihatan seperti anak nakal, dimana model rambut semi mowhak adalah style rambut yang dipilih untuk gaya rambutnya yang sekarang ini.
Dan jika aku menilai wajahnya aku sering tersenyum dalam hati karena memang
begitulah wajah yang dikatakan rupawan itu.
~****~
Cpak..cpak..cpak.. terdengar langkahnya
menandakan Raud kembali setelah mengambil handuk dan sabunnya. Dan masuklah
lagi kedalam kamar mandi sembari menyampirkan handuknya di atas kusen kamar
mandi. Dia memutar kran yang ada di atasku dan mengisiku dengan air. Yang
membuatku terngangah saat dia membuka bajunya dan bertelanjang dada. Aku
berkata,” mungkin jika aku manusia aku tidak akan bisa menahan nafsu ku, dan untung
aku hanya sebuah benda..” aku hanya terngangah dan memperhatikan gerak yang ia
perbuat.
Aku
berkata,”Raud..Raud.. apakah kau mendengarku.. hai Raud.. Rauuuudddd…!”. Dia
hanya meneruskan kegiatannya tanpa sedikitpun memperhatikanku, mengkucek, dan
berusaha menghilangkan noda baju sambil bersiul-siul yang hanya ia lakukan pada
saat itu. Aku sedikit kesal terhadap diriku sendiri, seraya berkata,”mengapa
aku hanya sebuah tampungan air kamar mandi, mengapa aku hanya benda?”.
Aku sejenak
menghentikan ocehan dari omonganku yang terdengar bisu ditelinga Raud, karena
aku melihatnya berhenti memainkan siulannya yang merdu. Aku berfikir apakah
suara ku terdengar olehnya sehingga dia berhenti dan diam, Aku takut jika dia
mendengar suaraku dan mungkin dia akan lari terbirit-birit oleh ku. Ternyata
dia tertegun kepada celana abu-abu seragam sekolahnya. Lega yang kurasa, kukira
suara yang bisu ini bisa terdengar olehnya. Pada saat itu aku memperhatikannya
mengambil sebuah foto yang diambil dari kantong celana abu-abunya.
Raud tersenyum, raut
wajahnya terlihat sumingrah saat dia termangu terhadap foto yang tidak
disengaja olehnya tercuci, bersama dengan celana abu-abu seragamnya. Aku pun
menghentikan rasa takutku sebelumnya dan kuganti dengan rasa penasaran yang
menggebu-nggebu. Aku berusaha melihat apa yang sebenarnya tergambar pada foto
yang dipegang anak bertelanjang dada ini. “Raud.. kasih tau aku dong.. apa sih
yang lucu? Apa sih yang menarik kok kamu senyum-senyum sendiri?” kataku pada
saat itu. Aku kesulitan mengintipnya, dia berada didepanku tapi aku di samping
sisinya sehingga aku sulit melihat apa yang ada pada foto itu.
“Heh Raud.. kamu kog
pelit banget sih..”, Aku memohon. Saat yang aku tunggu tiba, dia menaruhnya
diatas tubuhku. Tapi sayang foto itu menghadap kearah langit-langit kamar
mandi, tentu saja itu sama dengan aku melihat belakangnya saja. Tetapi
kesabaranku membuahkan hasil, keuntungan untuk melihat gambar foto ini datang
menghampiriku, ketika air yang dinyalakan Raud hampir mengisi penuh lubang
tubuh ku. Semenit kemudian harapanku terpenuhi, air dalam lubang tubuhku meluber.
Keringanan kertas foto membuatnya mengambang diatas permukaan air.
Foto yang tadinya
membuatku penasaran kini dapat terlihat oleh lirikan tajam mataku. Aku
memandang dalam-dalam gambar yang terlukis dalam foto itu, ternyata hanyalah
pahit yang kudapat. Aku kaget,”anak perempuan..!!”. Aku tak menyangka dengan
hanya sebuah foto aku bisa terpengaruh dengan begitu hebatnya. Lelaki telanjang
dada dihadapanku yang asik dengan cuciannya membuatku geram atas apa yang telah
dibuatnya senyum. Aku tak menghiraukan diriku lagi, entah aku hanya seonggok
tampungan air, atau apalah, tapi dengan sebab ini aku tersakiti.
~****~
Wiuw..wiuuww..wiiuuww..
kegeramanku ku terhenyak setelah aku dan begitu juga Raud mendengar deringan
sirine asrama. Baru pertama kali aku mendengar suara gaduh ini sejak aku
dilahirkan diasrama ini, bahkan aku tak tahu maksud dari deringan bunyi ini.
Aku melihat raut wajah Raud yang begitu kaget terngangah dengan mulut
rupawannya yang membuka setengah. Di waktu yang sama aku melihat kepulan asap yang
tebal keabu-abuan memasuki area kamar mandi juga spot ku berada.
“astaghfirulloh.. ada
apa ini?” ucap Raud. “ Ya Allah! Kebakaran”. Sahut Raud lagi. Rasa benciku
kepada Raud berubah menjadi ketukatan seakan aku ingin bergerak dan ikut lari
bersama Raud. “ Tolong.. Raud.. tolong..tolooong..!” ucapku yang tak terdengar
oleh si Raud. Aku melihat Raud bertindak segera dengan mengambil salah dari
satu pakaian cuciannya dan menutupkannya pada lubang hidungnya. Kusempatkan
juga melihat asap yang mengepul hitam mengisi kamar mandi yang semakin pekat.
Aku tak berdaya.
Raud sudah pergi
semenit lalu dan kuyakin dia selamat. Aku sendiri disini semakin bingung,
kudengar kobaran api menyambar tembok pingir kamar mandi. “lhap..ctaaarr” lampu
neon yang hanya satu, mati dan pecah dengan
sendirinya akibat tak kuat menahan panasnya api yang sudah mnyambarnya.
“Broook..” kudengar bongkahan kayu yang mungkin rapuh termakan kobaran api
jatuh, dan menimbukan ketakutanku semakin menjadi-jadi.
Disaat ketakutanku
berkobar mengiringi kobaran api yang mengitariku, terselip dalam pikiranku wajah
seorang Raud yang baru saja aku benci. Aku teringat akan kebaikanya, begitu
banyak sekali yang ia lakukan kepadaku walau dia tak mengetahui ku. Belum aku
membalasnya, tapi aku sudah membencinya. Aku menangis pun tiada guna. Aku hanya
bisa berdoa kepada yang kuasa agar dia mendapat balasan yang pantas atas semua
kebaikannya.
“Bruukk..!!” “auwww”..
jeritku yang begitu keras. Aku tertimpa plafon atap kamar mandi yang jatuh
akibat terlalap api. Tubuh bagian atas kananku tertima dan membuat retak.
Takut, sesak, lemas, yang aku rasa pada saat itu. Aku seakan akan berakhir pada minggu pertama
yang seharusnya indah. Dan benar nafasku terasa tersengal-sengal. Tubuhku
bertambah parah setelah kobaran api berada pas ada disampingku. Air yang
sebelumnya penuh dalam tengah tubuhku, sekarang berkurang cepat akibat tubuh
ini sudah berlubang.
Aku hanya bisa
mengenang Raud, dan berharap dia akan melakukan hal yang sama kepada tampungan
lain jika aku sudah tiada. Aku tak menghiraukan ketakutanku, aku tersenyum dan
melupakan kebencianku kepada Raud si rupawan. Aku tetap tersenyum walau aku
meneteskan air mata dan kobaran api telah merusakku. Aku tidak mungkin berlari
dan jeritanku tidak mungkin didengar siapapun. Aku lemas, aku buram, aku penat
dari pada minggu terakhir. Dan aku diberi kekuatan mengucapkan sebuah kalimat
terakhir. “aku Dewii.. padamu... Rauudd..”~
~****~
Akhmad Fatkhur Rokhman
Malang,
15 Oktober 2012
0 comments:
Post a Comment